MELURUSKAN POLA FIKIR
28 Apr 2020 10.47.28 593 Dilihat
Ditulis Oleh : KH. Muhammad Ma'mun (Pimpinan Pesantren Modern Daar El Falaah)
Bismillahirrohmannirrohiim
Allah SWT. berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصٰرَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani*, agar kamu bersyukur."
(QS. An-Nahl 16: Ayat 78)
*Al af-idah= Hati nurani= Perpaduan antara Pemikiran dan Perasaan
Allah swt. telah menciptakan manusia dari sari pati tanah lalu mengeluarkannya dari kandungan ibunya dalam keadaan tidak tahu apa apa, dan telah membekali 4 potensi kepada manusia sebagai modal untuk menjalani hidupnya di muka bumi, ke 4 potensi itu adalah:
1- Pendengaran
2- Penglihatan
3- Pemikiran dan
4- Perasaan
Disingkat P4
Ke 4 potensi ini Allah berikan kepada manusia agar manusia bersyukur, yaitu agar manusia mempergunakan pemberian Allah itu sesuai dengan fungsinya untuk mendapatkan keridhoanNya, tapi ternyata kebanyakan manusia di dunia ini tidak bersyukur dengan karunia pemberian Allah itu.
Allah SWT. berfirman:
وَهُوَ الَّذِىٓ أَنْشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصٰرَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
"Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur."
(QS. Al-Mu'minun 23: Ayat 78)
Karena begitu banyaknya manusia yang tidak bersyukur, ada manusia yang beranggapan pada akhirnya Neraka tidak akan cukup menampung manusia yang tidak bersyukur kepada Allah, maka Allah jelaskan bahwa Neraka siap menampung sebanyak apapun manusia yang tidak bersyukur.
Allah SWT. berfirman:
يَوْمَ نَقُولُ لِجَهَنَّمَ هَلِ امْتَلَأْتِ وَتَقُولُ هَلْ مِنْ مَّزِيدٍ
"(lngatlah) pada hari (ketika) Kami bertanya kepada Jahanam Apakah kamu sudah penuh? la menjawab, Masih adakah tambahan?"
(QS. Qaf 50: Ayat 30)
Ke 4 potensi ini oleh manusia harus dipergunakan dengan se baik baiknya. Allah melarang manusia untuk mengikuti sesuatu yang tidak diketahui ilmunya, tidak digunakan potensi yang telah diberikannya atau taklid buta.
Allah SWT. berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
(QS. Al-Isra' 17: Ayat 36)
Bahkan Allah akan memasukkan manusia seperti itu ke dalam Neraka dan mereka oleh Allah disejajarkan seperti binatang ternak bahkan lebih hina lagi. Bagaimana tidak?
Manusia punya telinga, kambingpun punya telingà, manusia punya mata, punya otak dan perasaan kambingpun punya, tapi ketika kambing yang sedang di kebon dipanggil oleh pemiliknya, dia tidak peduli, ketika diingatkan jangan makan rumput yang itu karena punya orang lain, dia tetap memakannya.
Begitu juga manusia, ketika datang panggilan Allah, terdengar suara adzan untuk mendirikan sholat, dia tidak perduli, ketika diseru jangan makan yang bukan hak miliknya, tetap saja dia mencuri, korupsi maka diapun tidak beda dengan kambing, bahkan kalau manusia sudah seperti binatang ternak maka keadaannya akan lebih hina, lebih sesat.
Betapa tidak?
Kambing di kebun melihat daun talas, tidak dimakannya, mengapa? Kalau menusia mengerti bahasa kambing, kambing itu berkata;
"Dari pada saya makan daun talas nanti mabuk, lebih baik makan daun yang lain". Itu kata kambing.
Tapi manusia sudah tahu bir memabukkan, ekstasi merusak akal dan tubuh, dia minum juga, maka jelas manusia lebih hina dari kambing.
Kalau kambing mencuri, tidak ada yang bawa karung untuk mencuri, dia mencuri hanya sekenyang perutnya saja, tapi kalau manusia sudah suka mengambil barang orang lain maka yang dikorupsi bisa cukup untuk 7 turunan, daya rusaknya akan lebih dahsyat.
Begitulah keadaan manusia kalau tidak menggunakan 4 potensi yang Allah sudah berikan kepadanya.
Allah SWT. berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُولٰٓئِكَ كَالْأَنْعٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولٰٓئِكَ هُمُ الْغٰفِلُونَ
"Dan sungguh, akan Kami isi Neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 179)
Setelah manusia mengetahui betapa pentingnya ke 4 potensi yang telah Allah berikan kepadanya, maka seorang muslim harus mempergunakan potensi itu dengan sebaik baiknya, namun sebagai seorang muslim sebelum mempergunakan semua potensi itu dia juga harus mengetahui bahwa ke 4 potensi itu ada keterbatasannya, ada kekurangannya, maksudnya tidak mesti yang didengar, dilihat, difikirkan dan dirasakannya itu sudah pasti benar, artinya terkadang manusia tertipu dengan pendengarannya, penglihatannya, pemikiran dan perasaannya.
Contoh:
Kita mendengar berita bahwa di pasar terjadi keributan, yang mendengar berita itu adalah telinga, tapi setelah kita pergi ke tempat kejadian ternyata tidak ada keributan itu, artinya nilai kebenaran yang dihasilkan oleh mata obyektifitasnya lebih tinggi dari telinga.
Lalu apakah setiap yang sesuai dengan penglihatan sudah pasti benar? Juga belum tentu, kita lihat di rumah ada TV, di langit ada bintang, mana besar antara bintang dengan TV? Maka kata mata, TV lebih besar dari bintang, lalu apakah betul bahwa TV lebih besar dari bintang? Kata fikiran salah, karena bintang jauh maka terlihat kecil, tapi kalau kita tanya kepada anak balita yang belum berfungsi akalnya dengan baik pasti dia katakan bahwa TV lebih besar dari bintang, berarti ada yang lebih tinggi nilai obyektifitasnya dari mata dalam menentukan kebenaran yaitu akal dan begiru seterusnya.
Contoh lain sebagai ilustrasi saja, umpamanya ada seorang penceramah yang sudah dapat pesan sponsor dengan imbalan yang menggiurkan, dia diminta untuk mengajak jama'ahnya agar tgl 25 Desember yang akan datang ikut acara natalan dengan ummat kristiani, lalu dia menyampaikan sebuah Hadits yang berbunyi
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم:
من اتبع نتلا دخل الجنة # متفق عليه
artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang ikut natalan maka akan masuk Sorga"
Muttafaq alaih.
Nah kalau kita hanya mengandalkan pendengaran maka kita akan celaka, mestinya kita bertanya:
"Ustadz, dalam kitab apa ada Haditsnya?"
Jawab sang penceramah:
"Dalam kitab tambihul ghofilin halaman 100".
Ketika sampai di rumah kebetulan tetangga pak haji punya kitab itu, lalu kita lihat dalam kitab itu, ternyata Hadits itu tidak ada.
Besoknya ketemu lagi dengan penceramah yang kemarin, lalu kita temui, lalu kita katakan:
"Ustadz, ternyata saya sudah lihat di dalam kitab tambihul ghofilin, Hadits itu tidak ada".
Jawab sang penceramah;
"ini saya ada kitabnya",
Kitab itu dikeluarkan dari tasnya, ternyata di dalam kitab yang dimiliki oleh penceramah itu dilihat dengan mata ada, kitapun berfikir, kenapa ada 2 kitab dengan judul yang sama tapi isinya beda, begitu dilihat penerbitnya ternyata kitab yang dimiliki penceramah itu diterbitkan di Telaviv., sedangkan yang punya pak haji diterbitkan di Cairo.
Jadi ada yang lebih tinggi nilai obyektifitasnya dari penglihatan yaitu pemikiran. Lalu apakah setiap yang sesuai dengan akal sudah pasti benar? Juga belum tentu.
Contohnya, di Yunani ada seorang ahli hukum namanya Perotagoras, beliau punya murid namanya Evaltos. Sebelum belajar dia temui gurunya di ruang dosen. berkatalah Evaltos kepada gurunya:
"Tuan dosen, saya mau kuliah kepada tuan tapi saya minta keringanan tentang bayar uang kuliah".
"Maksudnya?", kata sang guru.
"Begini tuang dosen bahwa saya akan bayar uang kuliah setelah selesai diwisuda jadi sarjana hukum dan setelah itu saya bisa memenangkan perkara pertama yang saya bela, kalau sudah berhasil barulah saya bayar uang kuliah itu, itupun dibayarnya 2 kali pembayaran tuan dosen".
Fikir si Evaltos buat apa jadi pengacara kalau setiap membela perkara kalah terus.
Jawab sang dosen:
"Kalau cuma itu baik saya bantu, buat saja perjanjian hitam di atas putih di atas segel nanti saya tanda tangani".
Maka dibuatlah perjanjian itu...
Yang bertanda tangan di bawah ini
1- Nama: Protagoras
jabatan: Dosen, disebut sebagai pihak pertama
2- Nama: Evaltos
Jabatan : Mahasiswa, disebut sebagai pihak kedua.
Dengan ini pihak kedua akan membayar uang kuliahnya kepada pihak pertama apabila sudah diwisuda jadi sarjana dan dapat memenangkan perkara pertama yang dibelanya, bila sudah bisa memenangkan perkara barulah uang kuliah itu akan dibayar itupun dicicil 2 kali pembayaran.
Demikianlah perjanjian dibuat tanpa ada paksaan dari pihak manapun juga tanda tangan.:
Protagoras Evaltos
Mulailah Evaltos belajar kepada gurunya, singkat cerita Evaltos selesai kuliah dan diwisuda, lalu Protagoras menyuruh muridnya untuk datang ke ruang dosen, lalu berkata:
"Evaltos, rasanya baru kemarin kita buat perjanjian dan sekarang engkau sudah jadi sarjana, untuk itu silahkan engkau cari perkara dan engkau bela, pasti engkau menang, karena engkau adalah mahasiswa saya yang paling genius".
Jawab Evaltos:
"Tuan dosen, saya sudah dapat perkaranya".
"Secepat itu Evalros, apa perkaranya?" kata Protagoras.
jawab Evaltos:
"Perkaranya adalah saya tidak akan bayar uang kuliah".
Fikir Protagoras, kurang ajar benar ini murid, lalu Protagoras berkata:
"Baiklah kalau itu yang akan engkau perkarakan, sayapun akan tetap menuntut hak saya agar engkau membayar uang kuliah kepada saya".
Sampailah perkara itu di meja hijau. lalu tuan hakim membacakan perkaranya tentang seorang mahasiswa yang tidak mau bayar uang kuliah kepada gurunya sendiri. Setelah perkara dibacakan lalu dipersilahkan Evaltos untuk membela perkaranya sendiri.
Berkatalah Evaltos:
"Tuan hakim, bagaimanapun juga saya minta tuan hakim untuk memenangkan perkara ini tentang sang murid yang tidak mau membayar uang kuliah kepada dosennya, kalau tuan hakim memenangkan perkara ini berarti saya bebas tidak bayar uang kuliah, tapi kalau tuan hakim memenangkan tuntutan Protagoras berarti sayapun bebas tidak bayar uang kuliah karena dalam perjanjian hitam di atas putih dikatakan Evaltos tidak akan bayar uang kuliah kalau kalah membela perkara pertamanya tuan hakim".
Hakim berfikir logis juga argumentasinya.
Protagoraspun sebagai guru besar tidak mau kalah, maka dia berkata:
"Tuan hakim, bagaimanapun tuan harus memenangkan tuntutan saya agar mahasiswa saya membayar uang kuliah kepada saya, bila tuan hakim memenangkan tuntutan saya, maka saya berhak untuk mendapat uang kuliah itu, tapi bila tuan hakim mengalahkan tuntutan saya dan memenangkan Evaltos maka itupun saya berhak untuk mendapatkan pembayaran uang kuliah, karena ada perjanjian hitam di atas putih yang menyatakan bahwa Evaltos harus membayar uang kuliah kalau dia menang dalam membela perkara pertama yang dibelanya".
Hakim berfikir semua argumentasi logis, jadi mana yang benar?
akhirnya hakim berkata:
"Kalau begitu sidang saya tunda sampai 1000 tahun lagi".
Disinilah permainan logika dan kepandaian bersilat lidah anak manusia, sehingga terkadang yang benar bisa salah dan yang salah bisa terlihat benar.
Lalu apakah yang sesuai dengan perasaan juga sudah pasti benar? Juga belum tentu, untuk pembuktiannya dengan sebuah ilustrasi:
Kiyai adalah figur seorang tokoh yang disegani bagi masyarakat di desanya, dia tempat bertanya dan tempat mengadukan persoalan. Di pagi hari datang seorang ibu ke rumah pak Kiyai untuk mengadukan masalahnya. Pak Kiyai bertanya:
"Ada apa ibu pagi2 sudah bertamu, apa yang bisa saya bantu?"
Jawab si ibu:
"Begini pak kiyai, berikan wejangan kepada saya, karena perasaan saya sekarang sedang susah sekali".
Kiyai bertanya: " Ibu punya ayam di rumah?
"Punya pak Kiyai" jawab si Ibu.
Lalu kata Kiyai:
"Kalau begitu sekarang ibu pulang ke rumah, lalu ayam itu masukkan ke rumah ibu, makan dan tidur biar di rumah ibu.
Si ibu pulang, lalu dimasukkanlah ayam ke rumahnya sesuai dengan arahan Kiyai, setelah 2 hari, si ibu datang lagi ke rumah pak kiyai, lalu kiyai bertanya:
" Bagaimana bu perasaannya sekarang". si ibu menjawab:
" waduh pak Kiyai, semakin susah perasaan saya, sudah rumah saya kecil ditambah lagi bau kotoran ayam".
Pak Kiyai bertanya lagi:
"Ibu punya bebek di rumah? "Punya pak Kiyai" jawab si ibu.
Lalu kata pak Kiyai,
"kalau begitu ibu pulang lagi ke rumah, masukkan juga bebek itu ke rumah ibu, satukan dengan ayam, makan dan tidur disitu".
Si ibu sudah tidak bisa berfikir sehat lagi, seakan dia menunggu keajaiban dengan arahannya itu, padahal dengan kotoran ayam saja sudah bau, apalagi ditambah dengan kotoran bebek? Tapi karena orang yang memberikan wejangan orang yang dikagumi maka dia ikuti arahan itu, bebek dimasukkan ke rumahnya, besoknya dia datang lagi, lalu pak Kiyai bertanya:
"Bagaimana bu perasaannya sekarang?".
Jawab si ibu:
"Waduh pak kiyai, mau pecah rasanya kepala saya, sudah bau kotoran ayam, tambah lagi dengan kotoran bebek".
Lalu pak kiyai berkata lagi:
"Kalau begitu sekarang ibu pulang, sampai di rumah kembalikan ayam dan bebek ke kandangnya, lalu bersihkan rumah ibu sampai bersih, lalu disemprot dengan pewangi ruangan, kalau sudah selesai silahkan ibu datang lagi kesini".
Si ibupun pulang, arahan dari kiyai dia kerjakan dengan penuh kepatuhan karena dia orang yang dikaguminya, setelah selesai dia datang lagi ke rumah pak kiyai, lalu pak kiyai bertanya kembali:
"Bagaimana bu perasaannya sekarang?".
Dengan senyum dia menjawab:
"Waduh, lapang sekali perasaan saya sekarang pak kiyai", padahal rumahnya itu2 juga.
Nah begitulah bicara tentang perasaan manusia.
Pernah kejadian ketika seorang mengantar tkw pulang ke rumahnya, diperjalanan ditanya:
"Bagaimana perasaan mbak kalau ternyata sampai di rumah suaminya sudah nikah lagi?"
.
Jawabnya:
"Oh saya marah, enak saja laki2, kecuali kalau sekedar *jajan" tidak apa2".
Itulah perasaan manusia, yang halal dia marah, yang haram tidak apa2.
Dari contoh dan ilustrasi di atas, jelas sudah terbukti akan keterbatasan potensi P4 yang telah Allah berikan. Bila tidak digunakan salah, tapi bila seorang muslim hanya mengandalkan potensi itu saja juga salah, jadi kalau begitu apa standar untuk mengukur kebenaran? tentu harus kebenaran yang datang dari Allah yang Maha Benar yaitu al Qur'an.
Allah SWT. berfirman:
الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
"Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 147)
Inilah sumber kebenaran yang pertama. Adapun yang kedua adalah Hadits Nabi.
Allah SSW. berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰىٓ
"dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya."
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْىٌ يُوحٰى
"Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),"
(QS. An-Najm 53: Ayat 3-4)
Nabi Muhammad saw. bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ مَا اِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدَ كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِى
Artinya: Aku tinggalkan untuk kamu sekalian 2 pusaka, jika kamu sekalian berpegang teguh dengan 2 pusaka itu, tidak akan tersesat selamanya, yaitu al Qur'an dan Hadits Sunnahku.
HR. Hakim dan Ibnu Abdil Bar
Maka di dalam Islam ke P4 ini harus tunduk kepada kebenaran Qur'an dan Hadits Nabi
Wallahu a'lamu bisshowaab.